Jumat, 29 September 2017

Festival Gerobak Sapi, Pelangi Di Tengah Peradaban

Apabila di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dan di Pulau Madura sapi kerap digunakan oleh masyarakat untuk beradu kecepatan dalam tradisi Pacu Jawi dan Karapan Sapi, orang-orang Jawa di Yogyakarta pun juga menyelenggarakan adu balap sapi serupa bertajuk ox cart race dalam Festival Gerobak Sapi. Festival Gerobak Sapi yang diselenggarakan setiap tahun ini menjadi ajang berkumpulnya para bajingan dari berbagai pelosok daerah di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Bajingan dalam hal ini bukanalah sebuah umpatan kasar, melainkan sebuah sebutan bagi pengemudi (kusir atau supir) dari gerobak sapi. Kata bajingan sendiri merupakan sebuah akronim bahasa jawa dari Bagusing Jiwo Angen-angening Pangeran atau yang berarti orang yang berhati mulia. Para pengemudi gerobak sapi disebut berhati mulia karena merekalah yang memobilisasi hasil bumi yang diangkut untuk dijual di pasar menggunakan gerobak sapi. Oleh sebab itu para kusir gerobak pada zaman dahulu lazim disebut bajingan.
Kali ini bertempat di Stadion Sultan Agung Bantul, ratusan bajingan dari berbagai penjuru daerah berkumpul dalam sebuah festival budaya bertajuk Festival Gerobak Sapi. Riuh ramai masyarakat dan para bajingan membaur menjadi satu dalam gelaran festival budaya ini. Festival setahun sekali ini menyuguhkan ratusan gerobak sapi sebagai kendaraan tradisional khas masyakarakat Jawa sebagai sajian utamanya. Festival Gerobak Sapi ini menghadirkan ratusan macam kreasi gerobak sapi, mulai dari gerobak sapi hias hingga gerobak sapi khusus untuk beradu kecepatan di lintasan lurus.
Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Iring-iringan karnaval gerobak saat melewati areal persawahan dalam pembukaan Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Riuh suasana penyelenggaraan Festival Gerobak Sapi ini sepintas memunculkan kembali secuil kenangan kisah masa kanak-kanakku bersama mendiang kakek di desa. Saat berada di tengah-tengah riuh suasana festival, ingatanku melayang kembali ke masa lalu ketika desa kakek masih terbentang luas sawah-sawah nan kuning pada musim panen padi tiba.
Di saat itu pula banyak terlihat lalu lalang para bajingan – sebutan untuk supir atau kusir gerobak sapi – yang mengangkut hasil panen padi dari sawah menggunakan gerobak yang ditarik dengan tenaga dua ekor sapi. Di saat gerobak sapi itu melintas di dekat rumah kakek, selalu terdengar bunyi klontong kalung sapi yang khas. Bunyi klontong sapi itu selalu menarik perhatian saya dan teman-teman sebaya saat itu.
Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Tak hanya orang tua atau dewasa saja, anak-anak pun ikut serta berpartisipasi dalam Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Setiap kali suara klontong itu terdengar, aku pun langsung bergegas keluar dari rumah untuk melihatnya dari dekat dan menyapanya dengan lambaian tangan dan senyum ceria bersama kakek. Acapkali aku pun merengek pada kakek untuk minta naik gerobak sapi itu, dan kakek pun tak pernah menolak pintaku walau hanya sekali. Bagiku, menumpang diatas gerobak sapi mengelilingi sawah-sawah pedesaan kala itu merupakan sebuah kenangan yang ingin kuulang kembali bersama mendiang kakek tercinta.
Secuil kisah masa kecil bersama mendiang kakek dan gerobak sapi itu seakan hadir kembali ketika berada di tengah-tengah penyelenggaraan Festival Gerobak Sapi 2016 yang digelar akhir bulan September lalu. Nuansanya nyaris sama seperti berada di rumah kakek dahulu, berjumpa dengan gerobak sapi di pagi hari. Bedanya, gerobak-gerobak sapi yang ada kali ini hampir semuanya bersolek. Sepanjang mata memandang, ratusan gerobak sapi tersebut terlihat cantik dan rapi oleh beragam hiasan dan warna-warni cat yang melekat di dinding gerobaknya. Kondisinya pun cukup bersih, tak sekotor seperti gerobak sapi pengangkut hasil panen yang kutumpangi ketika masih kecil dulu.

Riwayat Gerobak Sapi Pada Masa Lalu

Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Salah seorang bajingan atau supir gerobak di tengah-tengah jajaran gerobak sapi dalam Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Semarak suasana Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta yang terekam oleh kedua bola mata waktu itu seketika langsung menghapus anggapanku tentang keberadaan dan eksistensi gerobak sapi sebagai kendaraan tradisional yang telah punah ditelan berlalunya jaman. Dahulu, gerobak sapi merupakan moda transportasi atau kendaraan pengangkut hasil bumi yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Gerobak sapi di masa pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno pun tergolong sebagai kendaraan yang mewah dan eksklusif. Pemilik gerobak sapi pada masa itu dipandang sebagai golongan dengan status ekonomi yang tinggi
Persepsi masyarakat pribumi pada waktu itu tergolong cukup wajar. Hal tersebut disebabkan oleh harga gerobak dan sapi penariknya yang tergolong cukup mahal, bahkan hingga saat ini mencapai puluhan juta rupiah untuk satu gerobaknya saja. Maka tak heran bila sang pemilik gerobak sapi pada masa itu biasanya adalah orang yang memiliki lahan persawahan yang amat luas di pedesaan. Para juragan sawah tersebut memanfaatkan gerobak sapi itu mengangkut hasil panen dari sawah ke rumah maupun ke pasar untuk di jual.
Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Tak hanya orang tua atau dewasa saja, anak-anak pun ikut serta berpartisipasi dalam Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Selain memiliki nilai fungsi sebagai moda transportasi tradisional, ternyata gerobak sapi juga mempunyai sejarah perjuangan. Saat itu di masa perang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia atas penjajah Belanda, gerobak sapi banyak digunakan sebagai tumpangan persembunyian para tentara gerilya tanah air ataupun untuk menyelundupkan senjata dan bahan makanan. Karena bentuknya yang besar dan cenderung tertutup, gerobak sapi dianggap cukup aman serta tidak mencurigakan di mata para penjajah Belanda. Menyadari hal tersebut, maka para tentara gerilya tanah airpun memanfaatkan gerobak sapi sebagai sarana kamuflase untuk mengindari tentara Belanda.
Dalam menjalankan fungsi perjuangan itu, parabajingan yang sekali lagi adalah sebutan untuk seorang kusir atau supir gerobak sapi berperan sangat penting dalam menjalankan misi senyap tersebut. Para bajingaan yang rela ditumpangi tentara gerilya kala itu harus mempertaruhkan nyawa mereka saat melewati pos penjagaan penjajah untuk menjalani pemeriksaan. Alhasil, banyak tentara gerilya tanah air lolos melewati pos yang dijaga penjajah Belanda dengan berkamuflase menggunakan gerobak sapi ini. Sedikit banyak, gerobak sapi dan parabajingannya telah berjasa menghantarkan bangsa kita menuju kemerdekaan.

Gerobak Sapi Pada Masa Sekarang

Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Ratusan gerobak sapi dari berbagai daerah mengikuti Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Saat asyik memandangi dan mengabadikan ratusan gerobak sapi yang berjajar dalam Festival Gerobak Sapi 2016 lalu, saya pun menyempatkan diri untuk berbincang dengan beberapa bajingers – sapaan bagi para bajingan atau supir gerobak sapi – yang ikut menjadi peserta dalam festival tersebut. Ketika saya bertanya mengenai alasan mereka memiliki gerobak sapi ini, kebanyakan dari mereka mengaku turut melestarikan kebudayaan melalui kendaraan tradisional dan sebagai sarana untukklangenan.
Klangenan bagi Teguh, salah seorang bajingers, adalah salah satu wujud penghormatan bagi jasa ayahnya dahulu yang tak kenal lelah mencari nafkah bagi keluarga dengan menjual hasil bumi menggunakan gerobak sapi. Seraya matanya sedikit berkaca-kaca, pria yang tinggal di Sleman itu menceritakan tentang kisah heroik ayahnya yang rela menempuh perjalanan berhari-hari dari Yogyakarta ke pasar Temanggung di Jawa Tengah untuk menjual hasil bumi menggunakan gerobak sapi.
Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Suasana Stadion Sultan Agung Bantul yang dipadati ratusan gerobak sapi dari berbagai daerah dalam Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Teguh mengatakan ayahnya rela melewati panas matahari dan hujan serta ancaman perampok di tengah perjalanan untuk menjual hasil bumi demi mencukupi kebutuhan kelaurga. Untuk itu Teguh memiliki dan merawat betul gerobak sapi miliknya sebagai klangenan dan bentuk penghormatan untuk mengenang perjuangan ayahnya menghidupi keluarga.
Secara keseluruhan, acara Festival Gerobak Sapi 2016 ini selain menjadi ajang untuk klangenanjuga menjadi sarana promosi wisata. Melalui Festival Gerobak Sapi ini, para pemilik gerobak sapi mendapat kesempatan untuk memperkenalkan kepada khalayak akan keberadaan gerobak sapi sebagai kendaraan tradisional sekaligus sebgai angkutan wisata bersanding dengan becak dan andong.
Seusai penyelenggaraanya yang untuk pertama kali diadakan pada tahun 2013 lalu, Festival Gerobak Sapi telah memberikan dampak positif terhadap keberadaan moda transportasi tradisional ini. Minat masyarakat untuk memiliki gerobak sapi pun mulai melonjak naik. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyak bermunculan komunitas ataupun paguyuban gerobak sapi di empat Kabupaten di Yogyakarta dan di sekitaran kawasan Magelang, Klaten dan Boyolali.
Festival Gerobak Sapi Yogyakarta 2016
Kemeriahan ajang balap gerobak sapi atau oxcar race dalam Festival Gerobak Sapi di Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Pesertanya dari tahun ke tahun pun semakin bertambah banyak. Yang lebih mengejutkan lagi adalah harga gerobak yang kian tahun kian melejit seiring dengan semakin tingginya permintaaan. Diperkirakan saat ini harga gerobaknya saja mencapai empat puluh juta rupiah.
Sejenak kepala ini termangu-mangu. Lantas dahiku pun mulai mengernyit sembari berkata dalam batin: “apakah aku juga perlu memiliki gerobak sapi sebagai klangenan untuk mengenang masa kecil di desa bersama mendiang kakek” ujarku dalam hati.
  • Penikmat perjalanan dan fotografi.

Kirab Kebo Bule: Ritual Sakral Keraton Surakarta di Malam Satu Suro

Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dalam penanggalan Jawa adalah sebuah malam sakral nan kramat. Pada malam itu, orang-orang ramai menggelar berbagai ritual maupun semadi sebagai wujud laku prihatin. Di Solo, Jawa Tengah, para abdi dan sentono dalem Keraton Kasunanan Surakarta menggelar tradisi Kirab Kebo Bule keturunan Kyai Slamet sebagai cucuk lampah memimpin barisan terdepan kirab pusaka mengelilingi kota.
Tak seperti pada hari biasa, menjelang tengah malam itu Keraton Kasunanan Surakarta nampak sibuk. Para punggawa setianya sedang berkumpul dan bersiap diri mengikuti hajatan Keraton. Beberapa diantaranya terlihat khidmat berdoa. Kedua telapak tangannya mengatup sambil mulutnya komat kamit mengucapkan permohonannya kepada Yang Maha Kuasa dengan media kembang dan dupa di dalam kompleks istana.
Kirab Kebo Bule Malam Satu Suro di Solo
Para abdi dalem berkumpul di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta menunggu dimulainya Kirab Kebo Bule di malam satu suro. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Jarum jam hampir menunjuk pukul 00.00 WIB, namun suasana di luar kompleks Istana Kasunanan Surakarta malah semakin ramai oleh masyarakat. Ratusan abdi dalem kakung maupunputri yang sudah sedari berjam-jam lalu berkumpul di dalam Keraton mulai beranjak keluar dari kompleks Keraton. Mereka menanti datangnya pergantian hari sebagai tanda waktu akan dimulainya ritual sakral nan mistis di malam satu suro, yakni Kirab Kebo Bule mengawal pusaka Keraton.
Setiap malam satu suro tiba, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tak pernah absen menggelar ritual Kirab Kebo Bule keturunan Kyai Slamet. Ritual ini diselenggarakan untuk memohon berkah dan keselamatan serta sebagai wujud refleksi diri untuk menyambut tahun baru dalam penanggalan Jawa yang juga bertepatan dengan tahun baru Islam.
Bagi masyarakat Kota Solo, Kirab Kebo Bule merupakan momentum yang dinanti tiap tahunnya. Ritual tersebut merupakan simbol budaya nan adiluhung penanda datangnya Bulan Suro atau Muharam. Warga dari berbagai daerah di luar kota pun berdatangan untuk sekedar menonton ataupun ngalap berkah dari prosesi ritual Kebo Bule ini. Sebagian dari mereka percaya bahwa mengikuti kirab ini dapat membawa berkah dan keselamatan hidup kedepannya.
Kirab Kebo Bule Malam Satu Suro di Solo
Seorang abdi dalem berdoa di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta sebelum dimulainya Kirab Kebo Bule di malam satu suro. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Ritual Kebo Bule di malam satu suro ini diawali dengan memanjatkan doa oleh para abdi dalem di depan Kori Kemandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Seusai berdoa, para abdi dalem tersebut kemudian menyebar singkong dan taburan kembang tujuh rupa untuk menyambut kedatangan si Kebo Bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan itu.
Konon katanya, ritual baru akan dimulai ketika si Kebo Bule mau berjalan keluar kandang dengan sendirinya. Jadi apabila sang kerbau belum mau keluar kandang, maka dapat dipastikan prosesi ritual belum dapat dimulai. Tak ada satupun abdi maupun sentono dalem Keraton Surakarta yang berani memaksa si kerbau berjalan, mengingat hewan tersebut sangat dikeramatkan. Para punggawa Keraton tak memperlakukan sang kerbau keramat tersebut layaknya hewan biasa, malahan mereka memperlakukannya seperti seorang pangeran.
Setelah sang Kebo Bule keturunan Kyai Slamet datang di depan Kori Kemandungan Keraton, para abdi dalem pun menyambutnya dengan penuh penghormatan gaya kejawen. Mereka melakukan sungkem di depan kerbau keramat, lalu mengalungkannya dengan untaian kembang melati dan kantil. Setelah itu sang kerbau dibiarkan memakan tebaran singkong di depan Kori Kemandungan Keraton.
Kirab Kebo Bule Malam Satu Suro di Solo
Abdi dalem putri berdoa menggunakan sesajen di depan Kori Kemandungan Keraton Kasunanan Surakarta sebelum dimulainya Kirab Kebo Bule malam satu suro. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Saat kawanan Kebo Bule tiba, suasana pun terasa semakin riuh. Banyak warga yang berusaha ingin menyentuhnya berharap mendapat berkah ataupun sekedar mengabadikannya melalui gawai mereka masing-masing. Para pengawal prosesi kirab pun langsung menghalau warga yang berusaha menyentuh sang kerbau keramat. Wajar saja, sekawan Kebo Bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan itu dikenal sangat sensitif, diharapkan kerbau keramat itu tidak terganggu oleh kerumunan warga sehingga mau berjalan sendiri untuk memulai prosesi kirab.
Tak lama berselang, sekawanan Kebo Bule keramat tersebut berjalan sendiri dari depan Kori Kemandungan keluar kompleks Keraton. Berjalannya sang kerbau keramat menandakan dimulainya prosesi kirab pusaka di malam satu suro. Dengan didampingi srati atau pawang kerbau berbaju putih, sebanyak empat ekor Kebo Bule keturunan Kyai Slamet mempimpin jalannya kirab di barisan paling depan.
Ribuan warga pun terlihat telah memadati sepanjang jalur rute kirab di kanan dan kiri. Tak ada kilatan lampu flash dan juga gema suara manusia. Hanya derap langkah para peserta kirab tak beralas kaki yang terdengar, semua hening ketika kirab Kebo Bule berlangsung. Di belakang sang kerbau keramat, barisan punggawa kerajaan membawa tombak dan sejumlah koleksi pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta.

Asal-usul Kebo Bule Kyai Slamet

Kirab Kebo Bule Malam Satu Suro di Solo
Suasana Kirab Kebo Bule malam satu suro saat melewati kawasan Bundaran Gladak, Solo. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Kebo bule keturunan Kyai Slamet yang dikeramatkan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tersebut adalah jenis kerbau albino yang memiliki corak kulit berwarna putih dengan bintik kemerah-merahan. Persis seperti kulit orang-orang (bule) Eropa. Oleh sebab itu kerbau berkulit putih ini dikenal luas oleh masyarakat Kota Bengawan dengan sebutan Kebo Bule.
Konon ceritanya, Kebo Bule tersebut merupakan pemberian dari Bupati Ponorogo pada Sri Susuhanan Paku Buwono II saat masih bertahta di Keraton Kartasura, sekitar lima kilometer kearah barat dari Keraton sekarang yang berada di Kota Solo (dahulu bernama Desa Sala). Kerbau tersebut bukanlah kerbau biasa.
Kebo Bule sangat dikeramatkan dan menjadi salah satu ‘pusaka’ paling penting di Keraton Surakarta. Sejarahnya tertulis dalam beberapa literatur Jawa kuno, seperti tertera dalam Babad Giyanti karya pujangga kuno dan juga Babad Salakarya Raden Mas Said yang juga bergelar Adipati Mangkunegaran I. Kesemuanya menceritakan bahwa nenek moyang Kebo Bule adalah binatang kesayangan Sunan Paku Buwono II.
Alkisah menceritakan bahwa saat Sri Susuhunan Paku Buwono II ingin mencari lahan baru untuk dijadikan Keraton yang baru, beliau mempercayakannya pada Kebo Bule Kyai Slamet pemberian Bupati Ponorogo tersebut. Ketika itu, pusat pemerintahan masih berada di Keraton Kartasura. Akhirnya, sejumlah Kebo Bule Kyai Slamet dilepas dari kandang dan dibiarkan berjalan dengan diikuti para abdi dalem dari kejauhan. Saat sekawanan Kebo Bule itu berhenti di sebuah desa bernama Desa Sala, kemudian di lokasi tersebutlah Keraton yang baru akan dibangun. Saat ini desa tersebut menjadi Kota Solo dengan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai istana kerajaannya.

Tradisi Mengenang Sultan Agung

Kirab Kebo Bule Malam Satu Suro di Solo
Rombongan iring-iringan abdi dalem yang membawa pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta pada Kirab Kebo Bule malam satu suro. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)
Selain sebagai ritual untuk menyambut datangnya tahun baru Jawa, Kirab Kebo Bule di malam satu suro ini juga merupakan bentuk penghormatan atas karya Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kalender penanggalan Jawa merupakan salah satu karyanya sebagai pengganti kalender saka dalam penanggalan Hindu yang berbasis pada perputaran matahari. Kalender Jawa karya Sultan Agung ini mengadopsi penanggalan Islam yang berbasis pada perputaran Bulan.
Sultan Agung adalah Sultan ketiga yang memerintah Kerajaan Mataram Islam (1613 – 1645) sebagai cikal bakal Keraton Kasunanan Surakarta di Solo dan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat di Yogyakarta. Di bawah panji kepemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan islam terbesar di Nusantara pada masa itu.
Saat itu, masyarakat di tanah Jawa masih banyak yang mengikuti sistem penanggalan saka yang berbasis dari tradisi agama Hindu. Sultan Agung sebagai pemimpin Kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada masa itu berusaha mengubah dan mengalihkan paham agama Hindu di Jawa menjadi agama Islam. Salah satu bentuk upaya Sultan Agung adalah mengubah kalender saka menjadi penanggalan Jawa yang mengadopsi penanggalan Qomariah atau penanggalan dalam kalender Islam yang berbasis pada perputaran Bulan. Uniknya, angka tahun Saka tetap digunakan dan diteruskan, tidak mengikuti perhitungan Hijriyah pada saat itu demi alasan kesinambungan peralihan Hindu menjadi Islam, sehingga tahun saat itu 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam 1 Suro selalu diadakan oleh Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta sebagai penerus Kesultanan Mataram. Ritual malam satu suro sendiri sejatinya merupakan wujud rekfleksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya dengan disertai harapan akan berkah dari Sang Pencipta.
Penikmat perjalanan dan fotografi.